BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Selama ini kita berbicara tentang
peranan teologia dalam proses penafsiran Alkitab untuk gereja, dan tentang
caranya unsur-unsur Alkitabiah itu dimanfaatkan dalam struktur teologia. Tetapi
makna Alkitab untuk gereja tidaklah terbatas kepada peranannya dalam teologia.
Manfaat alkitab di dunia modern ini juga menjadi hal yang menarik untuk di
jadikan bahan atau materi yang perlu di ketahui oleh mahasiswa teologia. Oleh
kerena itu, penulis makalah ini tertarik untuk mempelajari dan membahas materi
tentang alkitab di dunia modern ini.
B. PERUMUSAN
MASALAH
a. Apa
yang menjadi latar belakang situasi masa kini yang menjadi pengaruh alkitab di
dunia modern ?
b. Apa
saja konsep-konsep yang mempengaruhinya ?
c. Bagaimana
Alkitab Sebagai Bahan Kesaksian Utama
Tentang"Peristiwa-Peristiwa Penyelamatan ?
C. TUJUAN
PENULISAN
Menambah wawasan kita mengenai peranan
Alkitab masa kini dan hal-hal yang perlu di perjuangkan untuk dapat menghadapi hal-hal
yang menjadi permasalahan ataupun yang menjadi peranan Alkitab itu sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
LATAR BELAKANG SITUASI
MASA KINI
I. KONSENSUS PADA
PERIODE SESUDAH PERANG
1. Gerakan
Neo-orthodox
Teologia
pada waktu itu umumnya secara kuat menekankan Alkitab. Penekanan tersebut
menonjol dalam gerakan yang sering disebut gerakan "neo-orthodox,"
yang dipelopori oleh Karl Barth. Gerakan neo-orthodox itu mulai segera setelah
perang dunia I dan begitu berkembang, sehingga pada akhir perang dunia II,
sudah berpengaruh sekali.
Bahan
pergumulannya ialah Allah Alkitab, Allah yang menyatakan Diri sebagaimana Dia
berada, Allah orang Israel, konsep-konsep dan pemikiran Alkitab. Dengan
penekanan-penekanan yang demikian, gerakan neo-orthodox itu kembali kepada
prinsip-prinsip Reformasi yang sangat dihormatinya. Gerakan baru itu menolak
pola-pola teologia yang disebut "liberal."
2.
Ditekankannya Alkitab di luar gerakan neo-orthodox
Telah
menjadi suatu mode untuk menggariskan kontras antara pemikiran Alkitab (yang
dinilai teologis positif) dengan cara-cara berpikir yang dianggap saingan,
misalnya cara berpikir Yunani dan filosofis (yang dalam perbandingan dengan
Alkitab dinilai negatif).
3.
Akibat-akibat gerakan kritik-historis
Selama
satu abad lebih, ahli-ahli Alkitab sudah biasa menggunakan metode-metode
historis-kritis dalam menyelidiki kitab-kitab dalam Alkitab. Maka penggunaan
metode-metode tersebut telah sangat mempengaruhi penilaian yang lazim diberikan
kepada kitab-kitab tersebut.
Kaum
konservatif berpendapat bahwa kesimpulan-kesimpulan yang demikian itu membahayakan
atau menyangkali sentralitas dan kewibawaan Alkitab di dalam gereja. Kalau
harus diakui bahwa ada ketidaktelitian atau ketidaktepatan historis di dalam
Alkitab, bagaimanakah Alkitab masih dapat dianggap teliti dan tepat secara
teologis? Di pihak lain, jenis-jenis teologia yang bercorak liberal tidak lagi
bersandar mutlak pada Alkitab, melainkan cenderung untuk menggunakannya secara
selektif. Sedangkan golongan yang lain lagi, yaitu ahli-ahli sejarah agama
Alkitab, nampaknya meneruskan tugas-analisanya dengan seolah-olah tidak peduli
akan berita Alkitab secara keseluruhan, dan seolah-olah tidak mempunyai suatu
pandangan poositif tentang pentingnya Alkitab atau kewibawaannya.
4.
Ciri-ciri keneo-orthodoxan
a.
Unsur polemik terhadap fundamentalisme
Penekanan
pada Alkitab yang menjadi ciri-khas dari pada teologia baru itu, tidaklah
identik dengan fundamentalisme atau obskurantisme. Sebaliknya teologia
neo-orthodox itu dianggap oleh penganut-penganutnya sebagai teologia yang
sesuai dengan metode-metode research yang modern, yaitu penelitian historis.
Bahkan gerakan baru yang kembali menekankan kewibawaan Alkitab ini justeru
mengandung suatu polemik terhadap fundamentalisme, terhadap konservatisme yang
bersifat biblisistik. Karena gerakan neo-orthodox itu beranggapan bahwa kaum
fundamentalis memanglah mempertahankan konsep kewibawaan Alkitab secara
lahiriah, namun gagal dalam menyadari dan meresapi logika-intern dari pada
Alkitab sendiri.
b.
Alkitab dipandang sebagai keseluruhan
Salah satu aspek dari cara-berpikir
pada periode sesudah perang, ialah desakannya bahwa Alkitab dapat dan bahkan
harus didekati secara keseluruhan. Penekanan yang demikian merupakan reaksi
terhadap teologia liberal, yang sering memberi kesan seolah-olah memutlakkan
satu unsur dari isi Alkitab. Misalnya, gambaran Yesus dalam Injil-injil
Sinoptis (atau bagian-bagian tertentu dari gambar tersebut) dianggap definitif;
selanjutnya gambar sinoptis yang dimutlakkan itu dipertentangkan dengan gambar
Yesus menurut Paulus. Atau (contoh lain) dipertentangkan antara Allah
Perjanjian Lama dengan Allah Perjanjian Baru. Ditekankannya Alkitab sebagai
keseluruhan juga merupakan protes terhadap metode para pengritik yang
menekankan analisa melulu. Memang, kata kaum neo-orthodox, Alkitab dapat
dibagi-bagi menurut sumber-sumbernya. Tetapi sesudah tugas analisa itu
dikerjakan, apakah tidak dapat dikatakan sesuatupun tentang makna Alkitab
sebagai keseluruhan? Diakui adanya perbedaan-perbedaan historis dan
keanekaragaman penekanan-penekanan di dalam keseluruhan Alkitab itu. Tetapi
menurut kaum neo-orthodox, suara-suara yang berlain-iainan itu merupakan suatu
paduan suara yang harmonis. Alkitab berpengaruh terhadap iman Kristen bukan
hanya melalui bagian ini atau bagian itu, melainkan juga berbicara melalui
interelasi antara semua bagian yang terdapat dalam Alkitab itu. Contoh yang
paling menyolok ialah: adalah merupakan aksioma, menurut kaum neo-orthodox,
bahwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru bersama merupakan suatu kesatuan.
Oleh karena itu, kaum neoorthodox mengecam kecenderungan teologia liberal untuk
mengabaikan Perjanjian Lama. Ditekankan bahwa cara berpikir orang Ibrani tidak
hanya menjiwai seluruh Perjanjian Lama, melainkan mewarnai Perjanjian Baru
juga.
c. Ditekankannya exegesis
Keyakinan akan kesatuan Alkitab
membawa akibat yang penting dalam kegiatan-kegiatan gereja. Misalnya,
khotbah-khotbah yang bersifat uraian Alkitabiah makin laku, --walaupun dalam
prakteknya usaha untuk menghayati prinsip "berkhotbah secara
Alkitabiah" kadang-kadang berjalan pincang. Dan terutama di
kalangan-kalangan yang berbahasa Inggris, kaum neo-orthodox gagal dalam
menemukan suatu metoda homiletik yang modern dan jelas, yang dapat mendasari
usaha "berkhotbah secara Alkitabiah ' itu. Namun demikian, nampaklah suatu
gerakan yang cukup berpengaruh, yang menuntut "khotbah-khotbah yang lebih
bersifat Alkitabiah."
d. Keneo-orthodoxan dan
gerakan oikumenis
Sementara itu gerakan oikumene merupakan salah satu pusat kegiatan
gereja, dan dalam gerakan itupun ditekankannya secara baru Alkitab membawa
effek yang cukup besar. Ditekankan bahwa Alkitablah yang merupakan unsur pokok
yang dimiliki oleh semua gereja-gereja bersama, sehingga kalau gereja-gereja
dan tradisi-tradisi Kristen dapat mempererat hubungannya dengan Alkitab, pastilah
mereka akan merasakan keakraban yang lebih erat- satu sama lain.
e.
Keneo-orthodoxan dan soal-soal sosio-politis
Diskusi
oikumenis meliputi berbagai soal sosio-politik yang menarik perhatian
gereja-gereja. Di situpun ditekankannya kewibawaan Alkitab dianggap sebagai
sumbangan positif, karena dengan ditekankannya hal tersebut agaknya kehidupan
gereja Kristen menjadi lebih terbuka kepada dunia, yaitu kepada problem-problem
manusiawi dan bendawi.
Perhatian terhadap
persoalan-persoalan politis dan bendawi adalah merupakan unsur yang menarik
dalam berita Alkitab. Maka oleh karena itu orang- orang
Kristen dan gereja-gereja Kristen berpaling kepada Alkitab dalam mencari
jawaban-jawaban atas persoalan-persoalan demikian. Ada usaha misalnya untuk
menggariskan pandangan Alkitabiah terhadap pekerjaan sehari-hari, atau terhadap
soal kesehatan, atau soal kenegaraan, sehingga pokok-pokok yang demikian itu
diteliti secara cukup mendalam.
II. BEBERAPA
TANDA-TANYA YANG DIAJUKAN BELAKANGAN INI
1.
Persoalan-persoalan
kritik-historis belum terpecahkan
Pokok
pertama, ialah perasaan bahwa kita belum sungguh-sungguh mendalami
persoalan-persoalan yang dihadapkan pada penyelidikan Alkitab oleh
metode-metode riset modern, misalnya metode kritik historis dan metode
perbandingan agama.
2.
Betulkah Alkitab harus dibaca sebagai keseluruhan?
Kedua, timbul keraguan
tentang kemutlakan dari pada prinsip bahwa Alkitab harus dibaca sebagai
keseluruhan. Bahkan sekarang ada para ahli yang menekankan bahwa keanekaragaman
dan perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalam Alkitab merupakan ciri Alkitab
yang lebih representatif dibandingkan dengan kesatuannya, bahkan merupakan pedoman
yang lebih membantu dalam mencapai makna Alkitab yang sebenarnya. Usaha untuk
menjadikan cara berpikir Ibrani sebagai kunci kesatuan Alkitab telah
ditinggalkan. Kita telah mencatat di atas ini bahwa ditekankannya Alkitab
sebagai keseluruhan, timbul sebagai reaksi terhadap pendekatan analitis.
3. Reaksi terhadap Berkhotbah
secara exegetis
Pokok ketiga ialah
bahwa di sana-sini pada masa kini muncul reaksi-reaksi yang cukup tajam
terhadap prinsip "berkhotbah secara exegetis." Ada seorang tokoh
gereja yang berkata begini: "Saya sering berkhotbah tanpa nats, atau malah
dengan menggunakan nats dari sumber non-Alkitabiah, misalnya dari Kierkegaard
(atau dari surat kabar)."
Menurut
anggapan modern ini, tugas gereja ialah untuk menyatakan dengan tegas apa yang
dipercayainya masa kini, bukan untuk menguraikan suatu nats yang dikutip dari
dokumen kuna. Gereja tidak dapat berbicara dan tidak pernah berbicara
berdasarkan sesuatu sumber kewibawaan di luar dirinya; maka kalau gereja merasa
dirinya mempunyai sumber kewibawaan yang demikian, dia hanya seolah-olah menipu
dirinya.
4. Persoalan-persoalan
tentang exegesis di kalangan "oikumenis"
a. Reaksi terhadap
pendapat bahwa "Alkitab merupakan landasan Kesatuan"
Dalam bidang diskusi
oikumenis, Dewan Gereja-gereja sedunia telah menjadi sadar akan adanya rasa
ketidakpuasan yang cukup tersebar, terutama antara ahli-ahli Alkitab, tentang
cara Alkitab digunakan dalam paper-paper (kertas-kertas-kerja) penelitian
oikumenis pada periode sesudah-perang.
b. Diskusi tentang
metode-metode hermeneutik
Salah satu faktor yang
agaknya ikut menimbulkan keragu-raguan baru tentang status Alkitab ialah
diskusi tentang hermeneutik atau metode-metode penafsiran Alkitab yang
berlangsung hangat di kalangan teologis pada tahun limapuluhan dan enampuluhan.
Penelitian tentang kewibawaan Alkitab yang dilangsungkan oleh Dewan
Gereja-gereja sedunia itupun timbul dari penelitian yang mendahuluinya, yaitu
penelitian diskusi mengenai hermeneutik.
5. Reaksi merupakan
fenomena yang terbatas
a. Fenomena nampak
terutama di kalangan yang berbahasa Inggris
Pertama, keragu-raguan
tentang status Alkitab itu tidak merata di seluruh gereja internasional.
Rumusannya yang paling radikal terdapat di kalangan-kalangan yang berbahasa
Inggris, baik di Inggris sendiri maupun di Amerika Serikat.
b. Terbatas pada
minoritas
Kedua, tak usah kita
memberi kesan seolah-olah seluruh teologia di kalangan yang berbahasa Inggris
telah tiba-tiba memberontak terhadap sentralitas Alkitab. Kesimpulan yang
demikian itu sama sekali tak dapat dibenarkan. Kebanyakan teolog yang
berpengaruh tidak ikut meragu-ragukan status Alkitab.
c. Terutama
berpengaruh di antara generasi muda
Terutama di antara
angkatan mudalah terasa keragu-raguan tentang Alkitab ini, termasuk
pendeta-pendeta muda dan para mahasiswa.
d. Bukan penolakan
terhadap Alkitab
Kita menyadari bahwa
ada keragu-raguan yang sangat mendalam tentang tempatnya Alkitab dalam hidup
dan iman gereja masa kini. Namun adalah merupakan suatu keterlaluan kalau kita
katakan bahwa perasaan-perasaan yang demikian sampai merupakan suatu penolakan
terhadap Alkitab, suatu penyangkalan terhadap nilai Alkitab itu.
6. Pokok-pokok
ketegangan yang dirasakan
a. Persoalan tentang
relevansi (perlunya) Alkitab
Problema-problema yang
kita hadapi masa kini sangat berlainan sekali dibandingkan dengan
problema-problema yang timbul pada jaman Alkitab. Bagaimana sampai bahan, yang
timbul dalam situasi yang begitu berlainan, dapat menentukan sikap kita
menghadapi problema-problema modern?
b. Persoalan tentang
pengkomunikasian berita Alkitab
Ada terdapat perbedaan-perbedaan
yang sangat mendalam antara kebudayaan dan cara-berpikir tokoh-tokoh Alkitab,
dengan kebudayaan dan cara-berpikir kita. Kalau begitu, dapatkah diharapkan
bahwa apa yang bermakna bagi mereka masih mengkomunikasikan makna yang sama
kepada kita?
c. Persoalan tentang
keterbatasan Alkitab
Alkitab merupakan suatu koleksi
buku-buku yang terbatas jumlahnya. Ada unsur-kebetulan dalam proses
penyeleksian (menyaring) koleksi itu, dan kitab-kitab tersebut .
d. Persoalan tentang
"pengisolasian" bahan Alkitab
Dapatkah bahan Alkitab itu
dipisahkan sebagai suatu bahan yang secara kwalitatif berlainan-mutlak,
dibandingkan dengan faktor-faktor lain.
e. Persoalan tentang
tanggung-jawab kita
Tugas gereja modern
ialah untuk merumuskan dan memproklamasikan apa yang dipercayai pada masa kini
oleh gereja dan oleh kaum Kristen. Tanggung-jawab itu dielakkan atau terkena
distorsi (pemutar-balikan) kalau kita berkesimpulan bahwa tanggung-jawab kita
yang utama ialah untuk menceritakan dan menafsir-ulang, yaitu untuk mendasarkan
pikiran kita kepada keyakinan-keyakinan orang-orang dari jaman Alkitabiah itu.
BEBERAPA
KONSEP YANG BERPENGARUH
I. PENGILHAMAN
1.
"Pengilhaman" diartikan "bebas dari kesalahan"
Istilah yang paling
lazim dikenakan pada Alkitab oleh kaum awam ialah bahwa Alkitab
"diilhamkan" atau "diwahyukan." Itu berarti bahwa Alkitab
"berasal dari Allah," sehingga isinya benar dan tidak mengandung
unsur ketidak-benaran. Tetapi antara para teolog, istilah
"pengilhaman" atau "keilhaman" tidak begitu lazim dipakai
pada jaman modern ini.
a. Ditekankannya asal-mula Alkitab
b. Ketak-mungkinan-salah Alkitab
2. Pengilhaman
kalamiah/harfiah
a. Di kalangan fundamentalis
Asosiasi
kedua yang timbul bagi banyak orang, kalau mereka mendengar istilah keilhaman,
ialah bahwa istilah itu mengandung ditekankannya penafsitan harfiah. Istilah
"keilhaman-harfiah" sering kedengaran, walaupun maknanya tidak selalu
seratus persen jelas. Namun agaknya dalam istilah itu terkandung suatu konsep
bahwa Alkitab tidak hanya diilhamkan dalam garis-garis besarnya, yaitu tidak
hanya dalam ide-ide atau berita yang terkandung di dalamnya, melainkan juga
bahwa bentuk-harfiah Alkitab itu, baik urutan-kata maupun urutan-kalimatnya,
diilhamkan oleh Allah secara teliti.
3.
"Pengilhaman" tidak identik dengan "Ketak-mungkinan-salah"
Itu
berarti bahwa dalam prakteknya pengkaitan-erat antara keilhaman dengan
ketak-mungkinan-salah, yang telah menjadi ciri-khas teologia Protestan, telah
muncul juga dalam teologia Katholik Roma.
4. Pengilhaman di
bidang kesusasteraan
Masih
ada arti yang lain lagi untuk kata "keilhaman" yang dapat kita
manfaatkan, kalau kita berhasrat merehabilitasikan (memulihkan) penggunaan
istilah itu dalam bidang teologia.
5. Keberatan-keberatan
terhadap konsep pengilhaman
Jadi
adalah perlu sekali bahwa kita sungguh-sungguh menggumuli persoalan ini: Dalam
arti yang bagaimanakah patut dikatakan bahwa Allah mengilhamkan skriptura? Kita
masih kabur tentang hal ini.
II. BEBERAPA
TANDA-TANYA YANG DIAJUKAN BELAKANGAN INI
1. Persoalan-persoalan
kritik-historis belum terpecahkan
Pokok
pertama, ialah perasaan bahwa kita belum sungguh-sungguh mendalami
persoalan-persoalan yang dihadapkan pada penyelidikan Alkitab oleh
metode-metode riset modern, misalnya metode kritik historis dan metode
perbandingan agama.
2. Betulkah Alkitab
harus dibaca sebagai keseluruhan?
Kedua,
timbul keraguan tentang kemutlakan dari pada prinsip bahwa Alkitab harus dibaca
sebagai keseluruhan.
3. Reaksi terhadap
Berkhotbah secara exegetis
Pokok
ketiga ialah bahwa di sana-sini pada masa kini muncul reaksi-reaksi yang cukup
tajam terhadap prinsip "berkhotbah secara exegetis." Ada seorang
tokoh gereja yang berkata begini: "Saya sering berkhotbah tanpa nats, atau
malah dengan menggunakan nats dari sumber non-Alkitabiah, misalnya dari
Kierkegaard (atau dari surat kabar)."[1]
4. Persoalan-persoalan
tentang exegesis di kalangan "oikumenis"
a. Reaksi terhadap
pendapat bahwa "Alkitab merupakan landasan Kesatuan"
Dalam
bidang diskusi oikumenis, Dewan Gereja-gereja sedunia telah menjadi sadar akan
adanya rasa ketidakpuasan yang cukup tersebar, terutama antara ahli-ahli
Alkitab, tentang cara Alkitab digunakan dalam kertas-kertas-kerja Penelitian
oikumenis pada periode sesudah-perang.
"Asumsi (anggapan) bahwa semua gereja memiliki Alkitab
sebagai milik-bersama, merupakan konsep kabur, sebelum soal kewibawaan Alkitab
dijelaskan; dan harapan bahwa usaha-bersama dalam bidang exegesis akan
mengantar kita kepada pengertian-bersama tentang kebenaran Kristen, nampak
sekarang sebagai harapan yang naif atau sedikit-dikitnya terlampau prematur
(gegabah)."2
·
KEBERATAN-KEBERATAN
TERHADAP PENDAPAT BAHWA ALKITAB MERUPAKAN "KESAKSIAN TENTANG
PERISTIWA-PERISTIWA PENYELAMATAN"
1.
Konsep
"Alkitab = Kesaksian" tidak membuktikan kedefinitifan kanon Alkitab.
2. Konsep tentang
rentetan "peristiwa penyelamatan" mempersempit lapangan karya Allah
dalam sejarah atau dunia.
3. Status Alkitab sebagai
sumber historis tidak menjamin kewibawaannya sebagai norma teologis.
·
ALKITAB
SEBAGAI BAHAN KESAKSIAN UTAMA TENTANG"PERISTIWA-PERISTIWA PENYELAMATAN"
1. Penyataan bukanlah
terletak dalam Alkitab, melainkan dalam peristiwa-peristiwa yang dilaporkan
Alkitab
Karya Allah terkandung
dalam peristiwa-peristiwa tersebut, --Keluaran Israel dari Mesir, hidup Tuhan
Yesus, kebangkitan Tuhan Yesus dari antara orang mati. Kedudukan Alkitab yang
tinggi tidaklah berasal dari hal bahwa Alkitab itu diilhamkan atau diberikan
oleh Allah; melainkan statusnya bergantung kepada fakta bahwa Alkitablah yang
bersaksi tentang peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan itu.
2. Unsur-unsur
ketidak-telitian dalam laporan-laporan Alkitab
Ada pengertian umum
yang berjalan serentak dengan yang tadi, bahwa data-data Alkitabiah tentang
peristiwa-peristiwa pengandung penyataan itu belum tentu seratus persen
faktual-historis, kalau dibaca secara harfiah.
3. Unsur-unsur
subyektif dalam laporan-laporan Alkitab
Keterangan yang
diberikan Alkitab tentang peristiwa-peristiwa pengandung-penyataan itu tidak
merupakan laporan obyektif melulu, melainkan suatu kesaksian berdasarkan iman,
suatu laporan tentang peristiwa yang dipandang dengan mata iman; yaitu, justru
imanlah yang tumbuh karena peristiwa-peristiwa tersebut.
Sebagai contoh, kita mencatat beberapa sikap
yang berbeda-beda terhadap kebangkitan Yesus:
a.
Ada "analogi yang cukup" antara peristiwa dan laporan
Kebanyakan
berpendapat bahwa meskipun ada unsur kesamaran tentang hubungan antara
peristiwa-peristiwa kebangkitan itu dan laporan-laporan Alkitab tentang
peristiwa-peristiwa tersebut, namun ada suatu kejadian obyektif yang terjadi.
Yang terjadi itu tidak seratus persen identik dengan penjelasan yang diberikan
dalam teks Alkitab, namun cukup mirip, sehingga hubungan antara peristiwa
dengan laporannya itu agak dekat, yaitu ada analogi yang wajar antara keduanya.
b.
Pendapat yang agak konservatif
Suatu
sikap, yang agak konservatif (atau konservatif-historis) terhadap kebangkitan
Yesus Kristus, bukan hanya akan mempertahankan bahwa peristiwa itu terjadi,
melainkan juga bahwa seluk-beluk peristiwa itu dapat direkonstruksikan dengan
cukup teliti dari laporan-laporan Alkitab.
c.
Pendapat yang sungguh-sungguh konservatif
Suatu
pandangan yang konservatif betul-betul akan melangkah lebih jauh lagi ke arah
yang sama. Akan dikatakan misalnya, bahwa rentetan. peristiwa-peristiwa pada
hari kebangkitan itu dapat ditentukan secara langsung dari kesaksian Alkitab,
dan bahwa perbedaan-perbedaan yang nampak antara Injil dengan Injil, atau
antara Alkitab dengan sumber-sumber non-Alkitabiah, dapat diharmonisasikan.
Para penganut pendapat demikian akan mengikuti seluk-beluk nats Alkitab dengan
teliti.
d.
Pendapat "liberal" atau "existensialis"
Pada
pola yang bertentangan, para penganut pandangan "liberal" atau
"eksistensialis" akan mengatakan bahwa memang riwayat-riwayat
kebangkitan itu bersaksi tentang suatu peristiwa, tetapi peristiwa yang
dimaksudkan bukanlah peristiwa obyektif di dunia luar, melainkan peristiwa
dalam bidang keimanan, yaitu dalam pengalaman orang-orang beriman.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Maka dalam hal-hal yang demikian
itu Alkitab pada periode sesudah perang agaknya sudah mendapat kembali
kedudukan yang sentral di dalam gereja-gereja dan di dalam iman orang Kristen.
Pada periode-periode sebelumnya kedudukan Alkitab telah mengalami kegoncangan,
di bawah pengaruh pendekatan kritis-historis. Alkitab juga agak diabaikan pada
periode teologia liberal. Bahkan beberapa sisa dari persoalan-persoalan yang
telah timbul pada periode-periode itu belum terpecahkan. Tetapi pada
prinsipnya, sentralitas-mutlak Alkitab dalam iman Kristen dan dalam kehidupan
gereja sudah diakui dan diteguhkan. Pada periode sesudah perang, hampir tidak
ada orang yang menyadari bahwa kedudukan Alkitab, yang nampaknya begitu teguh
itu, akan menjadi goyang kembali. Bahkan persoalan-persoalan, yang tadinya
dianggap sudah beres untuk selama-lamanya itu, tidak orang harapkan akan muncul
kembali, malah muncul dalam rumusan yang lebih tajam lagi.
Pada umumnya
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan itu tidak merupakan penolakan-mutlak
terhadap pandangan-pandangan tradisional mengenai Alkitab. Ada terdapat di
gereja-gereja sebagian besar anggota yang menilai tinggi status dan kewibawaan
Alkitab. Tetapi meskipun demikian, mereka mengalami keragu-raguan juga mengenai
status Alkitab. Bahkan keragu-raguan itu makin bertambah selama sepuluh atau
lima belas tahun belakangan ini, sedang semangat yang nyata pada periode
sesudah-perang itu menjadi semakin kendor. Di "sayap kiri" gereja ada
terdapat kelompok yang lebih kecil tetapi yang berpengaruh besar, yang secara
lebih aktif menyangsikan pengertian tradisional tentang status Alkitab.
Sedangkan di "sayap kanan" ada terdapat orang-orang Kristen
konservatif yang mempertahankan ajaran tradisional tentang Alkitab, dan yang
nampaknya memberikan suatu kesaksian terang-terangan tentang kewibawaan
Alkitab.
Orang modern
berkeyakinan (dan bahkan tepat berkeyakinan) bahwa caranya Allah berkomunikasi
dengan orang-orang pilihanNya di jaman alkitabiah itu pada prinsipnya tidaklah
berbeda dengan caranya Dia berkomunikasi dengan umatNya pada masa kini. Kalau
demikian, istilah keilhaman berarti bahwa Allah yang kita sembah itu,
mengadakan hubungan dengan umatNya pada jaman dulu seperti yang kita alami
dalam ibadat kita pada masa kini: Allah hadir dalam situasi-situasi konkrit
yang mereka alami, menurut pola-pola dan taraf-taraf pemikiran pada waktu itu,
Dia hadir dalam proses pembentukan tradisi mereka dan dalam proses kristalisasi
tradisi itu menjadi skriptura.
Peristiwa-peristiswa
yang melandaskan riwayat Alkitab, belumlah tentu kita mencapai persetujuan
secara mendetail. Namun demikian, ada beberapa hal yang dapat menerima
persetujuan umum, yaitu:
a. Alkitab adalah penting sekali
bagi kita, bukan hanya dari segi keterangan yang diberikan di dalamnya,
melainkan karena peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan, yang
melatar-belakanginya.
b. Alkitab adalah sumber
keterangan yang utama (bahkan kadang-kadang sumber yang unik) tentang
peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan itu.
c. Laporan-laporan dalam Alkitab
itu, walaupun bercacat-cela, sungguh-sungguhlah berasal dari orang-orang yang
menyaksikan peristiwa-peristiwa penyelamatan itu dan yang terkena pengaruhnya
sehingga menjadi beriman. Itu berarti bahwa Alkitab bukanlah hanya suatu sumber
keterangan yang penting, melainkan juga suatu respons dalam iman terhadap
peristiwa-peristiwa-penyelamatan yang mereka saksikan itu.
d. Ada suatu analogi antara
laporan-laporan dalam Alkitab dengan peristiwa-peristiwa asali itu, dan analogi
itu adalah memadai untuk menjamin bahwa Alkitab mengantarkan atau mengkomunikasikan
sedikit-dikitnya bentuk-dasar atau inti, atau
"makna-penuh-keselamatan" dari peristiwa-peristiwa asli itu, kepada
kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Barr,James.1979.Alkitab di Dunia Modern(The Bible in the
Modern World).Jakarta:BPK Gunung Mulia.
D.E,
Nineham.1969.The Use of the Bible in
Modern Teology, Bulletin of the John Rylands Library.
The
Ecumenical Review(1969).
[1] Nineham,
D.E., "The Use of the Bible in Modern Teology," Bulletin of the John
Rylands Library, lii (1969), hl. 193
2
The
Ecumenical Review, xxi (1969), hl. 138
Tidak ada komentar:
Posting Komentar