Minggu, 25 November 2012

makalah alkitab di dunia modern STT IKSM



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Selama ini kita berbicara tentang peranan teologia dalam proses penafsiran Alkitab untuk gereja, dan tentang caranya unsur-unsur Alkitabiah itu dimanfaatkan dalam struktur teologia. Tetapi makna Alkitab untuk gereja tidaklah terbatas kepada peranannya dalam teologia. Manfaat alkitab di dunia modern ini juga menjadi hal yang menarik untuk di jadikan bahan atau materi yang perlu di ketahui oleh mahasiswa teologia. Oleh kerena itu, penulis makalah ini tertarik untuk mempelajari dan membahas materi tentang alkitab di dunia modern ini.

B.     PERUMUSAN MASALAH
a.       Apa yang menjadi latar belakang situasi masa kini yang menjadi pengaruh alkitab di dunia modern ?
b.      Apa saja konsep-konsep yang mempengaruhinya ?
c.       Bagaimana Alkitab Sebagai Bahan Kesaksian Utama Tentang"Peristiwa-Peristiwa Penyelamatan ?
C.     TUJUAN PENULISAN
Menambah wawasan kita mengenai peranan Alkitab masa kini dan hal-hal yang perlu   di perjuangkan untuk dapat menghadapi hal-hal yang menjadi permasalahan ataupun yang menjadi peranan Alkitab itu sendiri.






BAB II
PEMBAHASAN
LATAR BELAKANG SITUASI MASA KINI
I. KONSENSUS PADA PERIODE SESUDAH PERANG
1. Gerakan Neo-orthodox
Teologia pada waktu itu umumnya secara kuat menekankan Alkitab. Penekanan tersebut menonjol dalam gerakan yang sering disebut gerakan "neo-orthodox," yang dipelopori oleh Karl Barth. Gerakan neo-orthodox itu mulai segera setelah perang dunia I dan begitu berkembang, sehingga pada akhir perang dunia II, sudah berpengaruh sekali.
Bahan pergumulannya ialah Allah Alkitab, Allah yang menyatakan Diri sebagaimana Dia berada, Allah orang Israel, konsep-konsep dan pemikiran Alkitab. Dengan penekanan-penekanan yang demikian, gerakan neo-orthodox itu kembali kepada prinsip-prinsip Reformasi yang sangat dihormatinya. Gerakan baru itu menolak pola-pola teologia yang disebut "liberal."
2. Ditekankannya Alkitab di luar gerakan neo-orthodox
Telah menjadi suatu mode untuk menggariskan kontras antara pemikiran Alkitab (yang dinilai teologis positif) dengan cara-cara berpikir yang dianggap saingan, misalnya cara berpikir Yunani dan filosofis (yang dalam perbandingan dengan Alkitab dinilai negatif).
3. Akibat-akibat gerakan kritik-historis
Selama satu abad lebih, ahli-ahli Alkitab sudah biasa menggunakan metode-metode historis-kritis dalam menyelidiki kitab-kitab dalam Alkitab. Maka penggunaan metode-metode tersebut telah sangat mempengaruhi penilaian yang lazim diberikan kepada kitab-kitab tersebut.
Kaum konservatif berpendapat bahwa kesimpulan-kesimpulan yang demikian itu membahayakan atau menyangkali sentralitas dan kewibawaan Alkitab di dalam gereja. Kalau harus diakui bahwa ada ketidaktelitian atau ketidaktepatan historis di dalam Alkitab, bagaimanakah Alkitab masih dapat dianggap teliti dan tepat secara teologis? Di pihak lain, jenis-jenis teologia yang bercorak liberal tidak lagi bersandar mutlak pada Alkitab, melainkan cenderung untuk menggunakannya secara selektif. Sedangkan golongan yang lain lagi, yaitu ahli-ahli sejarah agama Alkitab, nampaknya meneruskan tugas-analisanya dengan seolah-olah tidak peduli akan berita Alkitab secara keseluruhan, dan seolah-olah tidak mempunyai suatu pandangan poositif tentang pentingnya Alkitab atau kewibawaannya.
4. Ciri-ciri keneo-orthodoxan
a. Unsur polemik terhadap fundamentalisme
Penekanan pada Alkitab yang menjadi ciri-khas dari pada teologia baru itu, tidaklah identik dengan fundamentalisme atau obskurantisme. Sebaliknya teologia neo-orthodox itu dianggap oleh penganut-penganutnya sebagai teologia yang sesuai dengan metode-metode research yang modern, yaitu penelitian historis. Bahkan gerakan baru yang kembali menekankan kewibawaan Alkitab ini justeru mengandung suatu polemik terhadap fundamentalisme, terhadap konservatisme yang bersifat biblisistik. Karena gerakan neo-orthodox itu beranggapan bahwa kaum fundamentalis memanglah mempertahankan konsep kewibawaan Alkitab secara lahiriah, namun gagal dalam menyadari dan meresapi logika-intern dari pada Alkitab sendiri.
b. Alkitab dipandang sebagai keseluruhan
            Salah satu aspek dari cara-berpikir pada periode sesudah perang, ialah desakannya bahwa Alkitab dapat dan bahkan harus didekati secara keseluruhan. Penekanan yang demikian merupakan reaksi terhadap teologia liberal, yang sering memberi kesan seolah-olah memutlakkan satu unsur dari isi Alkitab. Misalnya, gambaran Yesus dalam Injil-injil Sinoptis (atau bagian-bagian tertentu dari gambar tersebut) dianggap definitif; selanjutnya gambar sinoptis yang dimutlakkan itu dipertentangkan dengan gambar Yesus menurut Paulus. Atau (contoh lain) dipertentangkan antara Allah Perjanjian Lama dengan Allah Perjanjian Baru. Ditekankannya Alkitab sebagai keseluruhan juga merupakan protes terhadap metode para pengritik yang menekankan analisa melulu. Memang, kata kaum neo-orthodox, Alkitab dapat dibagi-bagi menurut sumber-sumbernya. Tetapi sesudah tugas analisa itu dikerjakan, apakah tidak dapat dikatakan sesuatupun tentang makna Alkitab sebagai keseluruhan? Diakui adanya perbedaan-perbedaan historis dan keanekaragaman penekanan-penekanan di dalam keseluruhan Alkitab itu. Tetapi menurut kaum neo-orthodox, suara-suara yang berlain-iainan itu merupakan suatu paduan suara yang harmonis. Alkitab berpengaruh terhadap iman Kristen bukan hanya melalui bagian ini atau bagian itu, melainkan juga berbicara melalui interelasi antara semua bagian yang terdapat dalam Alkitab itu. Contoh yang paling menyolok ialah: adalah merupakan aksioma, menurut kaum neo-orthodox, bahwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru bersama merupakan suatu kesatuan. Oleh karena itu, kaum neoorthodox mengecam kecenderungan teologia liberal untuk mengabaikan Perjanjian Lama. Ditekankan bahwa cara berpikir orang Ibrani tidak hanya menjiwai seluruh Perjanjian Lama, melainkan mewarnai Perjanjian Baru juga.
            c. Ditekankannya exegesis
            Keyakinan akan kesatuan Alkitab membawa akibat yang penting dalam kegiatan-kegiatan gereja. Misalnya, khotbah-khotbah yang bersifat uraian Alkitabiah makin laku, --walaupun dalam prakteknya usaha untuk menghayati prinsip "berkhotbah secara Alkitabiah" kadang-kadang berjalan pincang. Dan terutama di kalangan-kalangan yang berbahasa Inggris, kaum neo-orthodox gagal dalam menemukan suatu metoda homiletik yang modern dan jelas, yang dapat mendasari usaha "berkhotbah secara Alkitabiah ' itu. Namun demikian, nampaklah suatu gerakan yang cukup berpengaruh, yang menuntut "khotbah-khotbah yang lebih bersifat Alkitabiah."
d. Keneo-orthodoxan dan gerakan oikumenis
Sementara itu gerakan oikumene merupakan salah satu pusat kegiatan gereja, dan dalam gerakan itupun ditekankannya secara baru Alkitab membawa effek yang cukup besar. Ditekankan bahwa Alkitablah yang merupakan unsur pokok yang dimiliki oleh semua gereja-gereja bersama, sehingga kalau gereja-gereja dan tradisi-tradisi Kristen dapat mempererat hubungannya dengan Alkitab, pastilah mereka akan merasakan keakraban yang lebih erat- satu sama lain.
e. Keneo-orthodoxan dan soal-soal sosio-politis
Diskusi oikumenis meliputi berbagai soal sosio-politik yang menarik perhatian gereja-gereja. Di situpun ditekankannya kewibawaan Alkitab dianggap sebagai sumbangan positif, karena dengan ditekankannya hal tersebut agaknya kehidupan gereja Kristen menjadi lebih terbuka kepada dunia, yaitu kepada problem-problem manusiawi dan bendawi.
Perhatian terhadap persoalan-persoalan politis dan bendawi adalah merupakan unsur yang menarik dalam berita Alkitab. Maka oleh karena itu orang- orang Kristen dan gereja-gereja Kristen berpaling kepada Alkitab dalam mencari jawaban-jawaban atas persoalan-persoalan demikian. Ada usaha misalnya untuk menggariskan pandangan Alkitabiah terhadap pekerjaan sehari-hari, atau terhadap soal kesehatan, atau soal kenegaraan, sehingga pokok-pokok yang demikian itu diteliti secara cukup mendalam.

II. BEBERAPA TANDA-TANYA YANG DIAJUKAN BELAKANGAN INI
1.      Persoalan-persoalan kritik-historis belum terpecahkan
Pokok pertama, ialah perasaan bahwa kita belum sungguh-sungguh mendalami persoalan-persoalan yang dihadapkan pada penyelidikan Alkitab oleh metode-metode riset modern, misalnya metode kritik historis dan metode perbandingan agama.
            2. Betulkah Alkitab harus dibaca sebagai keseluruhan?
Kedua, timbul keraguan tentang kemutlakan dari pada prinsip bahwa Alkitab harus dibaca sebagai keseluruhan. Bahkan sekarang ada para ahli yang menekankan bahwa keanekaragaman dan perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalam Alkitab merupakan ciri Alkitab yang lebih representatif dibandingkan dengan kesatuannya, bahkan merupakan pedoman yang lebih membantu dalam mencapai makna Alkitab yang sebenarnya. Usaha untuk menjadikan cara berpikir Ibrani sebagai kunci kesatuan Alkitab telah ditinggalkan. Kita telah mencatat di atas ini bahwa ditekankannya Alkitab sebagai keseluruhan, timbul sebagai reaksi terhadap pendekatan analitis.
            3. Reaksi terhadap Berkhotbah secara exegetis
Pokok ketiga ialah bahwa di sana-sini pada masa kini muncul reaksi-reaksi yang cukup tajam terhadap prinsip "berkhotbah secara exegetis." Ada seorang tokoh gereja yang berkata begini: "Saya sering berkhotbah tanpa nats, atau malah dengan menggunakan nats dari sumber non-Alkitabiah, misalnya dari Kierkegaard (atau dari surat kabar)."
            Menurut anggapan modern ini, tugas gereja ialah untuk menyatakan dengan tegas apa yang dipercayainya masa kini, bukan untuk menguraikan suatu nats yang dikutip dari dokumen kuna. Gereja tidak dapat berbicara dan tidak pernah berbicara berdasarkan sesuatu sumber kewibawaan di luar dirinya; maka kalau gereja merasa dirinya mempunyai sumber kewibawaan yang demikian, dia hanya seolah-olah menipu dirinya.
4. Persoalan-persoalan tentang exegesis di kalangan "oikumenis"
a. Reaksi terhadap pendapat bahwa "Alkitab merupakan landasan Kesatuan"
Dalam bidang diskusi oikumenis, Dewan Gereja-gereja sedunia telah menjadi sadar akan adanya rasa ketidakpuasan yang cukup tersebar, terutama antara ahli-ahli Alkitab, tentang cara Alkitab digunakan dalam paper-paper (kertas-kertas-kerja) penelitian oikumenis pada periode sesudah-perang.
b. Diskusi tentang metode-metode hermeneutik
Salah satu faktor yang agaknya ikut menimbulkan keragu-raguan baru tentang status Alkitab ialah diskusi tentang hermeneutik atau metode-metode penafsiran Alkitab yang berlangsung hangat di kalangan teologis pada tahun limapuluhan dan enampuluhan. Penelitian tentang kewibawaan Alkitab yang dilangsungkan oleh Dewan Gereja-gereja sedunia itupun timbul dari penelitian yang mendahuluinya, yaitu penelitian diskusi mengenai hermeneutik.
5. Reaksi merupakan fenomena yang terbatas
a. Fenomena nampak terutama di kalangan yang berbahasa Inggris
Pertama, keragu-raguan tentang status Alkitab itu tidak merata di seluruh gereja internasional. Rumusannya yang paling radikal terdapat di kalangan-kalangan yang berbahasa Inggris, baik di Inggris sendiri maupun di Amerika Serikat.
b. Terbatas pada minoritas
Kedua, tak usah kita memberi kesan seolah-olah seluruh teologia di kalangan yang berbahasa Inggris telah tiba-tiba memberontak terhadap sentralitas Alkitab. Kesimpulan yang demikian itu sama sekali tak dapat dibenarkan. Kebanyakan teolog yang berpengaruh tidak ikut meragu-ragukan status Alkitab.
c. Terutama berpengaruh di antara generasi muda
Terutama di antara angkatan mudalah terasa keragu-raguan tentang Alkitab ini, termasuk pendeta-pendeta muda dan para mahasiswa.
d. Bukan penolakan terhadap Alkitab
Kita menyadari bahwa ada keragu-raguan yang sangat mendalam tentang tempatnya Alkitab dalam hidup dan iman gereja masa kini. Namun adalah merupakan suatu keterlaluan kalau kita katakan bahwa perasaan-perasaan yang demikian sampai merupakan suatu penolakan terhadap Alkitab, suatu penyangkalan terhadap nilai Alkitab itu.
6. Pokok-pokok ketegangan yang dirasakan
a. Persoalan tentang relevansi (perlunya) Alkitab
Problema-problema yang kita hadapi masa kini sangat berlainan sekali dibandingkan dengan problema-problema yang timbul pada jaman Alkitab. Bagaimana sampai bahan, yang timbul dalam situasi yang begitu berlainan, dapat menentukan sikap kita menghadapi problema-problema modern?
b. Persoalan tentang pengkomunikasian berita Alkitab
Ada terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat mendalam antara kebudayaan dan cara-berpikir tokoh-tokoh Alkitab, dengan kebudayaan dan cara-berpikir kita. Kalau begitu, dapatkah diharapkan bahwa apa yang bermakna bagi mereka masih mengkomunikasikan makna yang sama kepada kita?
c. Persoalan tentang keterbatasan Alkitab
Alkitab merupakan suatu koleksi buku-buku yang terbatas jumlahnya. Ada unsur-kebetulan dalam proses penyeleksian (menyaring) koleksi itu, dan kitab-kitab tersebut .
d. Persoalan tentang "pengisolasian" bahan Alkitab
Dapatkah bahan Alkitab itu dipisahkan sebagai suatu bahan yang secara kwalitatif berlainan-mutlak, dibandingkan dengan faktor-faktor lain.
e. Persoalan tentang tanggung-jawab kita
Tugas gereja modern ialah untuk merumuskan dan memproklamasikan apa yang dipercayai pada masa kini oleh gereja dan oleh kaum Kristen. Tanggung-jawab itu dielakkan atau terkena distorsi (pemutar-balikan) kalau kita berkesimpulan bahwa tanggung-jawab kita yang utama ialah untuk menceritakan dan menafsir-ulang, yaitu untuk mendasarkan pikiran kita kepada keyakinan-keyakinan orang-orang dari jaman Alkitabiah itu.

BEBERAPA KONSEP YANG BERPENGARUH

I. PENGILHAMAN
1. "Pengilhaman" diartikan "bebas dari kesalahan"
Istilah yang paling lazim dikenakan pada Alkitab oleh kaum awam ialah bahwa Alkitab "diilhamkan" atau "diwahyukan." Itu berarti bahwa Alkitab "berasal dari Allah," sehingga isinya benar dan tidak mengandung unsur ketidak-benaran. Tetapi antara para teolog, istilah "pengilhaman" atau "keilhaman" tidak begitu lazim dipakai pada jaman modern ini.
a.       Ditekankannya asal-mula Alkitab
b.      Ketak-mungkinan-salah Alkitab
2. Pengilhaman kalamiah/harfiah
a. Di kalangan fundamentalis
Asosiasi kedua yang timbul bagi banyak orang, kalau mereka mendengar istilah keilhaman, ialah bahwa istilah itu mengandung ditekankannya penafsitan harfiah. Istilah "keilhaman-harfiah" sering kedengaran, walaupun maknanya tidak selalu seratus persen jelas. Namun agaknya dalam istilah itu terkandung suatu konsep bahwa Alkitab tidak hanya diilhamkan dalam garis-garis besarnya, yaitu tidak hanya dalam ide-ide atau berita yang terkandung di dalamnya, melainkan juga bahwa bentuk-harfiah Alkitab itu, baik urutan-kata maupun urutan-kalimatnya, diilhamkan oleh Allah secara teliti.
3. "Pengilhaman" tidak identik dengan "Ketak-mungkinan-salah"
Itu berarti bahwa dalam prakteknya pengkaitan-erat antara keilhaman dengan ketak-mungkinan-salah, yang telah menjadi ciri-khas teologia Protestan, telah muncul juga dalam teologia Katholik Roma.
4. Pengilhaman di bidang kesusasteraan
Masih ada arti yang lain lagi untuk kata "keilhaman" yang dapat kita manfaatkan, kalau kita berhasrat merehabilitasikan (memulihkan) penggunaan istilah itu dalam bidang teologia.
5. Keberatan-keberatan terhadap konsep pengilhaman
Jadi adalah perlu sekali bahwa kita sungguh-sungguh menggumuli persoalan ini: Dalam arti yang bagaimanakah patut dikatakan bahwa Allah mengilhamkan skriptura? Kita masih kabur tentang hal ini.
II. BEBERAPA TANDA-TANYA YANG DIAJUKAN BELAKANGAN INI
1. Persoalan-persoalan kritik-historis belum terpecahkan
Pokok pertama, ialah perasaan bahwa kita belum sungguh-sungguh mendalami persoalan-persoalan yang dihadapkan pada penyelidikan Alkitab oleh metode-metode riset modern, misalnya metode kritik historis dan metode perbandingan agama.
2. Betulkah Alkitab harus dibaca sebagai keseluruhan?
Kedua, timbul keraguan tentang kemutlakan dari pada prinsip bahwa Alkitab harus dibaca sebagai keseluruhan.
3. Reaksi terhadap Berkhotbah secara exegetis
Pokok ketiga ialah bahwa di sana-sini pada masa kini muncul reaksi-reaksi yang cukup tajam terhadap prinsip "berkhotbah secara exegetis." Ada seorang tokoh gereja yang berkata begini: "Saya sering berkhotbah tanpa nats, atau malah dengan menggunakan nats dari sumber non-Alkitabiah, misalnya dari Kierkegaard (atau dari surat kabar)."[1]
4. Persoalan-persoalan tentang exegesis di kalangan "oikumenis"
a. Reaksi terhadap pendapat bahwa "Alkitab merupakan landasan Kesatuan"
Dalam bidang diskusi oikumenis, Dewan Gereja-gereja sedunia telah menjadi sadar akan adanya rasa ketidakpuasan yang cukup tersebar, terutama antara ahli-ahli Alkitab, tentang cara Alkitab digunakan dalam kertas-kertas-kerja Penelitian oikumenis pada periode sesudah-perang.
"Asumsi (anggapan) bahwa semua gereja memiliki Alkitab sebagai milik-bersama, merupakan konsep kabur, sebelum soal kewibawaan Alkitab dijelaskan; dan harapan bahwa usaha-bersama dalam bidang exegesis akan mengantar kita kepada pengertian-bersama tentang kebenaran Kristen, nampak sekarang sebagai harapan yang naif atau sedikit-dikitnya terlampau prematur (gegabah)."2

·          KEBERATAN-KEBERATAN TERHADAP PENDAPAT BAHWA ALKITAB MERUPAKAN "KESAKSIAN TENTANG PERISTIWA-PERISTIWA PENYELAMATAN"
1.      Konsep "Alkitab = Kesaksian" tidak membuktikan kedefinitifan kanon Alkitab.
2.      Konsep tentang rentetan "peristiwa penyelamatan" mempersempit lapangan karya Allah dalam sejarah atau dunia.
3.      Status Alkitab sebagai sumber historis tidak menjamin kewibawaannya sebagai norma teologis.



·         ALKITAB SEBAGAI BAHAN KESAKSIAN UTAMA TENTANG"PERISTIWA-PERISTIWA PENYELAMATAN"

1. Penyataan bukanlah terletak dalam Alkitab, melainkan dalam peristiwa-peristiwa yang dilaporkan Alkitab
Karya Allah terkandung dalam peristiwa-peristiwa tersebut, --Keluaran Israel dari Mesir, hidup Tuhan Yesus, kebangkitan Tuhan Yesus dari antara orang mati. Kedudukan Alkitab yang tinggi tidaklah berasal dari hal bahwa Alkitab itu diilhamkan atau diberikan oleh Allah; melainkan statusnya bergantung kepada fakta bahwa Alkitablah yang bersaksi tentang peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan itu.
2. Unsur-unsur ketidak-telitian dalam laporan-laporan Alkitab
Ada pengertian umum yang berjalan serentak dengan yang tadi, bahwa data-data Alkitabiah tentang peristiwa-peristiwa pengandung penyataan itu belum tentu seratus persen faktual-historis, kalau dibaca secara harfiah.
3. Unsur-unsur subyektif dalam laporan-laporan Alkitab
Keterangan yang diberikan Alkitab tentang peristiwa-peristiwa pengandung-penyataan itu tidak merupakan laporan obyektif melulu, melainkan suatu kesaksian berdasarkan iman, suatu laporan tentang peristiwa yang dipandang dengan mata iman; yaitu, justru imanlah yang tumbuh karena peristiwa-peristiwa tersebut.
 Sebagai contoh, kita mencatat beberapa sikap yang berbeda-beda terhadap kebangkitan Yesus:
a. Ada "analogi yang cukup" antara peristiwa dan laporan
Kebanyakan berpendapat bahwa meskipun ada unsur kesamaran tentang hubungan antara peristiwa-peristiwa kebangkitan itu dan laporan-laporan Alkitab tentang peristiwa-peristiwa tersebut, namun ada suatu kejadian obyektif yang terjadi. Yang terjadi itu tidak seratus persen identik dengan penjelasan yang diberikan dalam teks Alkitab, namun cukup mirip, sehingga hubungan antara peristiwa dengan laporannya itu agak dekat, yaitu ada analogi yang wajar antara keduanya.
b. Pendapat yang agak konservatif
Suatu sikap, yang agak konservatif (atau konservatif-historis) terhadap kebangkitan Yesus Kristus, bukan hanya akan mempertahankan bahwa peristiwa itu terjadi, melainkan juga bahwa seluk-beluk peristiwa itu dapat direkonstruksikan dengan cukup teliti dari laporan-laporan Alkitab.
c. Pendapat yang sungguh-sungguh konservatif
Suatu pandangan yang konservatif betul-betul akan melangkah lebih jauh lagi ke arah yang sama. Akan dikatakan misalnya, bahwa rentetan. peristiwa-peristiwa pada hari kebangkitan itu dapat ditentukan secara langsung dari kesaksian Alkitab, dan bahwa perbedaan-perbedaan yang nampak antara Injil dengan Injil, atau antara Alkitab dengan sumber-sumber non-Alkitabiah, dapat diharmonisasikan. Para penganut pendapat demikian akan mengikuti seluk-beluk nats Alkitab dengan teliti.
d. Pendapat "liberal" atau "existensialis"
Pada pola yang bertentangan, para penganut pandangan "liberal" atau "eksistensialis" akan mengatakan bahwa memang riwayat-riwayat kebangkitan itu bersaksi tentang suatu peristiwa, tetapi peristiwa yang dimaksudkan bukanlah peristiwa obyektif di dunia luar, melainkan peristiwa dalam bidang keimanan, yaitu dalam pengalaman orang-orang beriman.












BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Maka dalam hal-hal yang demikian itu Alkitab pada periode sesudah perang agaknya sudah mendapat kembali kedudukan yang sentral di dalam gereja-gereja dan di dalam iman orang Kristen. Pada periode-periode sebelumnya kedudukan Alkitab telah mengalami kegoncangan, di bawah pengaruh pendekatan kritis-historis. Alkitab juga agak diabaikan pada periode teologia liberal. Bahkan beberapa sisa dari persoalan-persoalan yang telah timbul pada periode-periode itu belum terpecahkan. Tetapi pada prinsipnya, sentralitas-mutlak Alkitab dalam iman Kristen dan dalam kehidupan gereja sudah diakui dan diteguhkan. Pada periode sesudah perang, hampir tidak ada orang yang menyadari bahwa kedudukan Alkitab, yang nampaknya begitu teguh itu, akan menjadi goyang kembali. Bahkan persoalan-persoalan, yang tadinya dianggap sudah beres untuk selama-lamanya itu, tidak orang harapkan akan muncul kembali, malah muncul dalam rumusan yang lebih tajam lagi.
Pada umumnya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan itu tidak merupakan penolakan-mutlak terhadap pandangan-pandangan tradisional mengenai Alkitab. Ada terdapat di gereja-gereja sebagian besar anggota yang menilai tinggi status dan kewibawaan Alkitab. Tetapi meskipun demikian, mereka mengalami keragu-raguan juga mengenai status Alkitab. Bahkan keragu-raguan itu makin bertambah selama sepuluh atau lima belas tahun belakangan ini, sedang semangat yang nyata pada periode sesudah-perang itu menjadi semakin kendor. Di "sayap kiri" gereja ada terdapat kelompok yang lebih kecil tetapi yang berpengaruh besar, yang secara lebih aktif menyangsikan pengertian tradisional tentang status Alkitab. Sedangkan di "sayap kanan" ada terdapat orang-orang Kristen konservatif yang mempertahankan ajaran tradisional tentang Alkitab, dan yang nampaknya memberikan suatu kesaksian terang-terangan tentang kewibawaan Alkitab.
Orang modern berkeyakinan (dan bahkan tepat berkeyakinan) bahwa caranya Allah berkomunikasi dengan orang-orang pilihanNya di jaman alkitabiah itu pada prinsipnya tidaklah berbeda dengan caranya Dia berkomunikasi dengan umatNya pada masa kini. Kalau demikian, istilah keilhaman berarti bahwa Allah yang kita sembah itu, mengadakan hubungan dengan umatNya pada jaman dulu seperti yang kita alami dalam ibadat kita pada masa kini: Allah hadir dalam situasi-situasi konkrit yang mereka alami, menurut pola-pola dan taraf-taraf pemikiran pada waktu itu, Dia hadir dalam proses pembentukan tradisi mereka dan dalam proses kristalisasi tradisi itu menjadi skriptura.
Peristiwa-peristiswa yang melandaskan riwayat Alkitab, belumlah tentu kita mencapai persetujuan secara mendetail. Namun demikian, ada beberapa hal yang dapat menerima persetujuan umum, yaitu:
a. Alkitab adalah penting sekali bagi kita, bukan hanya dari segi keterangan yang diberikan di dalamnya, melainkan karena peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan, yang melatar-belakanginya.
b. Alkitab adalah sumber keterangan yang utama (bahkan kadang-kadang sumber yang unik) tentang peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan itu.
c. Laporan-laporan dalam Alkitab itu, walaupun bercacat-cela, sungguh-sungguhlah berasal dari orang-orang yang menyaksikan peristiwa-peristiwa penyelamatan itu dan yang terkena pengaruhnya sehingga menjadi beriman. Itu berarti bahwa Alkitab bukanlah hanya suatu sumber keterangan yang penting, melainkan juga suatu respons dalam iman terhadap peristiwa-peristiwa-penyelamatan yang mereka saksikan itu.
d. Ada suatu analogi antara laporan-laporan dalam Alkitab dengan peristiwa-peristiwa asali itu, dan analogi itu adalah memadai untuk menjamin bahwa Alkitab mengantarkan atau mengkomunikasikan sedikit-dikitnya bentuk-dasar atau inti, atau "makna-penuh-keselamatan" dari peristiwa-peristiwa asli itu, kepada kita.









DAFTAR PUSTAKA
Barr,James.1979.Alkitab di Dunia Modern(The Bible in the Modern World).Jakarta:BPK Gunung Mulia.
D.E, Nineham.1969.The Use of the Bible in Modern Teology, Bulletin of the John Rylands Library.

The Ecumenical Review(1969).







[1] Nineham, D.E., "The Use of the Bible in Modern Teology," Bulletin of the John Rylands Library, lii (1969), hl. 193
2 The Ecumenical Review, xxi (1969), hl. 138

Tidak ada komentar:

Posting Komentar